IJL.Com- Sembilan tahun tinggal di kawasan Kenari, Senen, Jakarta Pusat benar-benar membuat karakter seorang Muhammad Firdaus terbentuk. Ia mengakui dirinya adalah tipe pelatih yang bawel.
Prihatin. Itu adalah kata yang pertama kali keluar dari mulut pelatih FU15FA Bina Sentra, Muhammad Firdaus saat menceritakan awal mula dirinya terjun di level sepak bola usia dini.
Alasannya cukup sederhana. Tidak terlalu bertele-tele namun punya banyak arti. Sesungguhnya ada rasa tulus sedang diucapkan oleh Daus, sapaan akrabnya.
"Terjun ke level SSB sejak 2012. Awalnya dari rasa keprihatinan, saya tidak ingin anak-anak kecil seperti mereka ini terjerumus dalam hal-hal negatif seperti merokok apalagi sampai narkoba," jelas Daus.
Terungkap, cerita masa kecil yang membuat Daus kini rela membasuh keringat bersama bocah-bocah cilik. Hidup di kota besar dengan segala hiruk-pikuknya membuat jalan pikirannya jauh lebih terbuka.
"Kalau saya asli Purwakarta, tapi sempat tinggal lama di Kenari, Senen selama sembilan tahun. Dari kelas 1 SD sampai 3 SMP," kenang Daus
"Banyak ilmu hidup saat tinggal di Jakarta meski saat itu saya masih kecil. Saat sekolah saya masih aktif ikut SSB tapi faktor lingkungan ikut mempengaruhi, banyak teman-teman saya jarang beraktifitas ya pelariannya mereka akhirnya ke rokok. Bahkan ada yang sampai lebih dari itu," tutur Daus.
Daus memang sadar kerasnya kehidupan Ibu Kota membuat dirinya tidak bisa terlalu lama berdiam diri. Beruntung, sepak bola menyelamatkan mimpinya.
"Saat itu saya berpikir untuk benar-benar fokus mendalami sepak bola, akhirnya pindah dari Kenari. Dua tahun gabung di Persija junior (1999-2001), lebih banyak tinggal di mess dan banyak sisi positifnya. Habis dari Persija, sempat perkuat Indocement Trisakti juga," ujar Daus.
"Kalau di kota-kota besar seperti Jakarta memang seperti itu. Banyak anak-anak yang saya lihat karena tidak punya aktivitas akhirnya banyak terjerumus kena rokok dan narkoba. Makanya saya meyakini hal tersebut bisa dikikis lewat jalur sepak bola, mengejar prestasi akan membuat mereka jadi lebih fokus," sambung pria berusia 34 tahun tersebut.
Tidak heran, kembali ke tanah kelahiran sempat jadi pilihan. Kebetulan saat itu ia dapat panggilan untuk memperkuat Persipo Purwakarta. Suatu kebanggaan besar tentunya seorang putra daerah bisa berseragam Pendekar Gunung Parang.
Sayang, di Persipo pula dirinya harus gantung sepatu meski saat itu usianya baru menginjak 23 tahun. Namun ia masih meyakini sepak bola adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan masa depan generasi muda Indonesia.
Ibarat kata, jodoh memang tidak lari kemana. Di Purwakarta pula, justru pengabdian besar Daus benar-benar dimulai.
"Saya pensiun bersama Persipo setelah empat tahun disana karena dibebat cedera paha tapi sempat ada tawaran untuk kerja sebagai pegawai bank juga sebenarnya," ungkap pemegabg lisensi kepelatihan C AFC seraya tersenyum.
"Di Purwakarta pula saya pertama kali mendalami peran sebagai pelatih SSB, menangani Bizone Indonesia. Akhirnya 2016 ambil keputusan untuk merantau ke Tangerang, kebetulan FU15FA Bina Sentra sedang cari pelatih," sambung fans berat Sir Alex Ferguson itu.
Sekarang, dua tahun di Tangerang bersama FU15FA Bina Sentra, tekad Daus belumlah berubah. Ya, jangan sesekali ada asap rokok mengitari lapangan jika tidak ingin membuat sang juru taktik meradang.
"Memang masih banyak sekali penonton di pinggir lapangan menikmati jalannya pertandingan dengan merokok. Saya tidak melarang mereka terang-terangan tapi lebih edukasi langsung ke anak didik agar tidak mencontoh hal tersebut," ujar Daus.
"Untuk hal seperti itu saya memang bawel. Tidak apa-apa dipanggil pelatih bawel kalau nantinya demi kebaikan anak-anak," tutup head-coach FU15FA Bina Sentra itu.