IJL.Com- Sepak bola menyatukan kita semua. Bhinneka tunggal ika, itu yang sudah tertanam di dalam dada kiper Garuda Muda Soccer Academy (GMSA) U-9, Shia Dimitri Nathaniel Benjamin.
Rasanya saat ini sulit bagi seorang Lilian Sigar menghalang-halangi sang anak, Shia Dimitri Nathaniel Benjamin menjadi "aktor rumput hijau". Setahun bergabung bersama GMSA, semangat Dimitri semakin menggebu-gebu apalagi ada sahabatnya yakni Sabian Nenggala Sugito yang lebih dahulu menginjakkan kaki di Stadion Perigi.
"Dimi sudah satu tahun di GMSA. Dia memang sangat suka sepak bola dan ingin dapat latihan yang lebih proper. Kenapa pilih GMSA, karena memang itu pilihan anaknya, kebetulan teman sekelasnya yaitu Sabian juga ada di sana. Dimi jadi lebih semangat lagi," ujar Lili.
"Saya juga lihat di GMSA anak-anaknya ditantang untuk lebih berani di lapangan, berani mencoba," sambungnya lagi.
Keberanian tersebut nyatanya mampu mengantarkan Dimi hingga berdiri di bawah mistar gawang GMSA U-9. Tidak main-main, bocah kelahiran Jakarta, 5 November 2009 itu sendiri yang langsung mengajukan diri ke tim pelatih.
"Awalnya dia center forward, sampai saat IJL kemarin minta latihan sebagai kiper tapi belum intensif sampai Jendra Javier Renaldi cedera lalu Dimi langsung minta replace," terang sang ibu.
"Pelatihnya sih bilang dia cukup agresif dan punya potensi. Dan anaknya ternyata memang ingin sekali ternyata jadi kiper," ujar Lili seraya tersenyum.
"Memang sebuah keputusan besar ya, apalagi buat ibu-ibu kalau lihat anaknya jadi kiper, double rasa khawatirnya," sambungnya lagi.
Lili sendiri memang meyakini sepak bola bisa jadi wahana bagi buah hatinya itu tumbuh sebagai generasi muda Indonesia yang berkarakter. Tidak hanya secara skill teknik di atas lapangan namun juga dalam bentuk attitude positif sebagai bekal masa depan.
Salah satunya dalam hal toleransi beragama, Dimi sudah dapat bekal dari sang ibunda memandang sebuah perbedaan menjadi satu-kesatuan. Arti bulan puasa meski tidak menjalaninya sudah dipahami betul oleh pemilik nomor punggung 33 di skuat GMSA U-9 itu.
"Dimi sudah banyak belajar dari rumah dan keluarga besar kami. Kebetulan saya juga Dimi beragama kristen dan ayahnya muslim. Saya selalu ajarkan dia agar hormati selalu ibadah orang lain. Jadi kalau di sekolah atau sedang latihan ada teman-temannya yang puasa jangan makan atau minum di depan mereka, minggir sebentar. Dimulai dari hal-hal sederhana saja dulu," ujar Lili.
"Sebagai minoritas Dimi memang punya strugle sendiri baik saat di sekolah atau di GMSA. Tapi saya selalu tekankan ke dia agar respect soal perbedaan. Harus firm dengan apa yang dipercaya sesuai dengan teladan Tuhan kami. Jika berbuat baik, pasti orang lain akan lakukan hal yang baik pula, berbuat baik kepada siapa saja," sebutnya.
Memandang perbedaan sebagai sebuah kekuatan dalam dunia olahraga dalam hal ini sepak bola memang bukan lagi hal yang langka. Di Tanah Air, apalagi kalau bukan sebuah kebanggaan melihat Boaz Solossa, Stefano Lilipaly, Evan Dimas juga Andik Vermansah bahu membahu membela lambang garuda di dada.
Rasanya sudah selayaknya menanamkan rasa cinta Tanah Air berbalut semangat bhinneka tunggal ika ke generasi penerus Boaz selanjutnya. Salah satunya tidak lain tidak bukan tentunya melalui pembinaan sepak bola usia dini.
"Menurut saya olahraga itu menyatukan perbedaan. Ketika sedang bertanding dari level SSB sampai Timnas, mana pernah kita memikirkan agama atau ras apalagi kalau sudah bawa nama bangsa," ujar Lili.
"Saya bersyukur Dimi senang dengan dunia ini, banyak pelajaran bisa ia ambil. Teamwork, toleransi, karakter, memahami sikap orang lain, disiplin. Kalau jago atau tidaknya itu hanya bonus. Ya, sepak bola menyatukan kita semua," tandas Lili.