IJL.Com- Cita-citanya mengikuti jejak almarhum sang ayah sudah harus dikuburnya dalam-dalam. Bagi Teguh Purwanto, mengolah si kulit bundar bersama bocah-bocah kecil tidak kalah gagahnya dibanding angkat senjata.
Bumi Marinir Cilandak bukan tempat yang asing lagi untuk seorang Teguh Purwanto. Dari situlah ia pertama kali mengenal olahraga termegah seantero jagat bernama sepak bola. Dunia militer dan kulit bundar rasanya tidak bisa lepas dari sosok pelatih ASTAM U-9 itu.
"Saya sudah belajar melatih sejak 1995 di lingkungan marinir Cilandak. Kebetulan bapak angkatan, tentara. Dari 1984 tinggal di sana," ujar Teguh.
"Sekarang sudah pindak ke Pondok Cabe. Tapi tidak akan pernah bisa melupakan Cilandak, termasuk soal sepatu sepak bola saya yang hilang diambil orang di sana," sambung mantan pemain Indonesia Muda Jakarta Selatan itu tertawa.
Mendapat didikan dari keluarga militer membuat Teguh tumbuh jadi sosok yang tak hanya dikenal keras namun juga disiplin. Meski demikian, sejak bergelut di sepak bola usia dini ia nampak lebih sedikit "melunak".
"Saya gabung di ASTAM sejak 2011, resminya April 2012. Kalau ditanya kenapa pilih terjun melatih anak-anak sebenarnya sederhana yaitu ingin memajukan sepak bola Indonesia. Kita sudah harus bicara soal bekal masa depan," ucap pelatih dengan lisensi D PSSI itu dan pemegang sertifikat grassroot internasional itu.
"Bekal masa depan itu sudah harus dibentuk sejak usia dini. Saya dapat didikan militer dari almarhum ayah soal bagaimana sikap disiplin, respect, jangan pernah menyerah dengan keadaan dan harus smart. Pelan-pelan selalu coba dituangkan ke anak-anak ASTAM," tegas pria asal asal Klaten, Jawa Tengah itu.
Teguh menyadari misinya itu tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Karakter tiap anak didik yang berbeda-beda bisa jadi salah satu alasannya.
Walau begitu, ia sudah paham dengan berbagai macam tantangan di depan matanya. Termasuk soal rasa sesal yang sudah harus dikuburnya dalam-dalam. Ya, usut punya usut Teguh ternyata sempat terpikir mengikuti jejak almarhum ayahnya untuk angkat senjata.
"Penyesalan memang selalu datang belakangan, dulu tidak mau ikuti jejak ayah karena melihat jadi tentara waktu itu gajinya kecil," ungkap Teguh seraya tersenyum.
"Tapi kalau dibilang saya menyesal jadi pelatih SSB itu salah besar. Saya menikmatinya. Ada seni tersendiri dalam melatih anak-anak dari nol. Jujur ada kepuasan tersendiri melihat mereka dari yang tidak bisa menjadi terbiasa," sebutnya.
Nama Direktur Teknik Timnas Indonesia yakni Danurwindo membuat pelatih bergaya rambut botak cepak itu kian teguh memantapkan langkahnya. Menyusul juru taktik skuat Garuda Muda, Indra Sjafri disebutnya.
"Saya terinspirasi dengan Danurwindo, pertama saat melihat dia memegang Primavera. Sosok yang cerdas, pintar, low profile hanya saja kurang hoki. Kalau bicara level grassroot, saya banyak belajar dari Indra Sjafri," tandas Teguh.